Selasa, 26 Februari 2013

SEJARAH ANGKATAN UDARA INDONESIA

Sejak Indonesia mencanangkan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, banyak hambatan dan tantangan yang harus dihadapi, terutama Belanda yang ingin menjajah kembali. Banyak daerah yang berhasil “diduduki” kembali oleh Belanda setelah penjajah Jepang hengkang dari Indonesia. Perlawanan dari bangsa Indonesia tentu saja terjadi untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dengan susah payah. Salah satunya dari angkatan udara, terutama untuk menembus blokade Belanda di berbagai daerah. BKR (Badan Keamanan Rakyat) adalah bagian dari BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang). Dalam kenyataannya BKR, tidak hanya sekedar “penjaga”, tetapi pejuang yang mempelopori dan memutar roda revolusi. BKR –lah yang memimpin perebutan kekuasan sipil maupun militer dari tangan Jepang. Anggotanya terdiri dari bekas Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Heiho (pembantu prajurit), Kaigun (angkatan laut), Keisatsutai (kelompok polisi), Seinendan (barisan pemuda) dan kesatuan pemuda lainnya. Oleh karena BKR pada hakekatnya bertugas sebagai pengaman perjuangan di berbagai bidang, maka di bidang udara dibentuk BKR Oedara (BKRO). BKRO secara organisatoris di bawah Komite Nasional Indonesia setempat, sehingga masing-masing berdiri sendiri. BKRO dibentuk di daerah yang memiliki pangkalan udara atau pemusatan unsur penerbangan seperti Pandanwangi (Lumajang), Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Morokrembangan (Surabaya), Panasan (Surakarta), Kalibanteng (Semarang), Jatiwangi (Cirebon), Lhok Nga (Aceh), Gadut (Bukittinggi), Payakumbuh, dan lain-lain. Tugas utamanya adalah merebut pangkalan udara setempat dari tangan Jepang. Pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat yang isinya mengubah BKR menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa TKR harus bertanggung jawab kepada negara di laut, darat dan udara. Kemudian dibentuk Markas Tertinggi TKR yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan sendirinya BKRO berubah menjadi TKR Oedara (TKRO) yang lebih dikenal dengan TKR Jawatan Penerbangan. Pelopor dan pendukung kegiatan TKRO kebanyakan adalah bekas anggota Militaire Luchtvaart(ML), Marine Luchvaart Dienst(MLD) dan Vrijwillig Vliegers Corps (VVC), juga bekas anggota penerbangan Jepang, Rikugun dan Kaigun, Koku Butai Nanpo, Koku Kabusyiki, serta pemuda pejuang lain. Pertanggungjawaban dan wewenang atas pangkalan udara beserta seluruh perlengkapannya langsung berada di bawah kekuasaan TKR Jawatan Penerbangan, yang merupakan suatu jawatan bagian dalam TKR. Markasnya terletak di Jalan Terbantaman 1, Yogyakarta berseberangan dengan Markas Tertinggi TKR. Modal pertama yang dimiliki adalah berbagai jenis pesawat yang ditinggalkan Jepang, seperti pesawat latih Nishikoren, Cukiu, Cureng, pesawat pemburu Hayabusha, Sansikishin, pesawat pembom Guntai, Sakai serta pesawat pengintai Nakayima. Tidak semua masih berfungsi baik, serta tampak tidak terpelihara karena suku cadang yang dipergunakan memang tidak ada. Dengan cara mengambil suku cadang dari pesawat yang satu untuk dipasangkan pada pesawat yang lain para teknisi Indonesia yang minim pengetahuan berhasil memperbaiki beberapa pesawat untuk dapat diterbangkan lagi. Pada tanggal 12 Desember 1945, Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Urip Sumoharjo mengeluarkan keputusan mengenai pembentukan Bagian Penerbangan pada Markas Tertinggi TKR (MT TKR). Semua kekuatan bagian penerbangan termasuk para prajurit, pegawai pangkalan dan perlengkapan di pangkalan udara yang semula dikuasai Panglima Divisi, oleh MT TKR diserahkan kepada Kepala Bagian Penerbangan. Kepala Bagian Penerbangan berkedudukan di Markas Besar Oemoem (MBO). Sebagai awal konsolidasi kekuatan TKR, pada tanggal 17 Desember 1945, Panglima Divisi Yogyakarta, Kolonel Sudarsono secara resmi menyerahkan Pangkalan Udara Maguwo kepada TKR Jawatan Penerbangan. Suryadi Suryadarma diangkat sebagai Kepala Staf Jawatan Penerbangan dengan pangkat Komodor Udara, Sukarnen Martokusumo sebagai wakil KSAU I dan Agustinus Adisucipta sebagai wakil KSAU II. Tugas mereka adalah menyusun struktur organisasi, mengangkat personalia untuk mengisi jabatan teras, membangun dan menyusun penerbangan militer dan merintis pembentukan penerbangan sipil. Padahal tenaga ahli hampir tidak ada dan pesawat yang ada hampir semua tidak layak pakai. Meskipun demikian, berkat kesanggupan, kemampuan dan semangat yang berkobar para pelopor tadi berhasil mewujudkannya. Maguwo menjadi tumpuan pangkalan pemberangkatan dan pendaratan pesawat, mengingat Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan dan pusat kegiatan Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara. Mengingat pentingnya sumber daya manusia, atas prakarsa Suhud dan H. Suyono, di Pangkalan Udara Bugis (Malang) dibuka Sekolah Penerbang. Dan pada tanggal 15 November 1945 di Maguwo, diselenggarakan Sekolah Penerbang di bawah pimpinan Adisucipto yang memang sudah berpengalaman dalam dinas penerbangan militer Belanda. Sekolah ini direncanakan untuk dalam waktu singkat menghasilkan penerbang-penerbang tangguh, yang sangat diperlukan dalam perjuangan kemerdekaan. Kedua sekolah penerbang itu kemudian diintegrasikan, sehingga hanya dikenal sekolah penerbang di Maguwo. Sekolah inilah yang kemudian menjadi perintis berdirinya AAU (Akademi Angkatan Udara). Pada mulanya, Sekolah Penerbang tidak memiliki gedung. Pesawat terbang yang digunakan sebagai pesawat latih adalah Cureng bersayap dua, yang oleh Sekutu dikenal dengan nama Willow, buatan Jepang 1933. Sebelum diadakan latihan terbang, para kadet mendapatkan pelajaran teori, seperti lalu lintas udara, navigasi, aerodinamika, keamanan terbang, mesin, ilmu teknik penerbangan, peralatan, pengawasan bandara, radio telegrafi, dan meteorologi. Sebagai calon perwira penerbang militer, mereka juga diberi pelajaran dasar ilmu kemiliteran dan pengetahuan tentang berbagai macam senjata. Pendidikan terbang sebagai pelajaran pokok diberikan langsung oleh Adisucipto, dibantu Iman Suwongso Wiryosaputro, Iswahyudi, Abdulrachman Saleh dan Husein Sastranegara. Untuk mengejar waktu pelajaran teori diberikan siang dan malam. Pada tanggal 1 Januari 1946 anggota Teknik Udara mulai melayani kegiatan pendidikan serta latihan penerbangan. Instrukturnya adalah Adisucipto dengan kedua kadet pertama, Iswahyudi dan Iman Suwongso Wiryosaputro. Tanggal 6 Januari 1946 untuk pertama kali diadakan latihan penerbangan. Setelah diresmikan berdirinya sekolah penerbang di Maguwo dan berkat bantuan mereka yang ada di bagian teknisi, para siswa dapat melakukan latihan, baik terbang solo maupun formasi. Latihan terbang formasi dan lintas daerah dilakukan di atas Yogyakarta, Surakarta, Madiun dan Malang pada tanggal 15 April 1946 dengan pesawat Cureng. Penerbangnya antara lain Husein Sastranegara, Tugiyo, Santoso dan Wim Prayitno. Latihan-latihan penerbangan juga dilakukan di luar Jawa. Tanggal 23 Juli 1946, diterbangkan dua pesawat Cureng masing-masing dikemudikan Opsir Udara II Husein Sastranegara dan Kadet Udara Wim Prayitno dengan rute Maguwo-Gorda (Banten)-Karangendah (Sumatera Selatan)-Maguwo. Penerbangan cross country pertama ini disusul dengan terbang formasi dalam jumlah yang lebih besar. Perubahan TKR Jawatan Penerbangan menjadi TRIO (Tentara Republik Indonesia Angkatan Oedara) berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 6/SD tahun 1946, tertanggal Yogyakarta 9 April 1946, menjadikan tugas dan perannya meningkat. Maka selain Sekolah Penerbang di Maguwo dibuka juga lembaga-lembaga pendidikan lain yang diperlukan dalam dunia penerbangan. Sekolah Radio Telegrafis Udara dibuka sebagai modal dasar PHB-AU, untuk perhubungan lewat udara. Sekolah Administrasi Militer, didirikan tahun 1946 di bawah pimpinan Suyoso Karsono. Sekolah yang dilaksanakan di Kantor Inspektorat Administrasi Militer, Jalan Terbantaman Yogyakarta ini mengajarkan tentang administrasi keuangan dan umum. Untuk menjamin dan meningkatkan kualitas teknisi serta menambah tenaga baru di bidang penerbangan Adisucipto memprakarsai berdirinya Sekolah Teknik Udara di Maospati Madiun. Sekolah ini dipimpin oleh Ibrahim Bekti dan dibuka 2 Desember 1946. Pendidikan Pasukan Pertahanan Pangkalan diadakan di Pangkalan Udara Bugis, dirintis sejak 1946. Siswanya diambil dari anggota Pasukan Pertahanan Pangkalan yang ada di setiap pangkalan udara. Pendidikan terdiri dua bagian Sekolah Militer Udara Umum (SMU) di bawah pimpinan Mustam dan Sekolah Penembak Udara (SPU) di bawah Machjudin Arifin. Dalam pelajaran praktek siswa dikirim ke pertempuran yang sesungguhnya di Surabaya. Beberapa kadet juga dikirim ke India untuk belajar. Hal ini dengan pertimbangan India adalah negara yang gigih membantu perjuangan bangsa Indonesia, di samping fasilitas penerbangan militer dan sipil yang cukup baik. Di samping adanya percobaan dan latihan terbang, diadakan pula persiapan percobaan terjun payung dengan menggunakan peralatan peninggalan Jepang. Untuk keperluan peloncatan digunakan pesawat Cureng. Pendidikan Peloncat Payung secara teratur baru diadakan pada tahun 1948 di bawah pimpinan Kapten Udara Makmur Suhodo. Djawatan Kesehatan Angkatan Udara (DKAU) bertugas menjaga kesehatan awak pesawat. Dalam pembentukannya jawatan ini dipimpin oleh Opsir Udara Muda I Musri, dan Opsir Udara I dr. Esnawan Antariksa. Secara informal, pembinaan wilayah sebenarnya telah dilaksanakan jauh sebelum Angkatan Udara diresmikan. Pangkalan-pangkalan yang telah direbut dari tangan Jepang, atas dasar kesadaran dan kebijaksanaan darurat, oleh penguasa setempat diadakan penertiban dan pembinaan, seperti pangkalan udara Maguwo, Maospati, Bugis, Panasan. Lebih-lebih setelah TRI Udara diresmikan pembinaan meningkat dan perluasan wilayah mendapat perhatian besar. Ke wilayah timur misalnya Madura, dan ke arah barat sampai Sumatra (antara lain Aceh, Lampung, Pekanbaru, Bengkulu).Untuk menanamkan dan menyebarkan rasa cinta udara di kalangan rakyat, AURI menyelenggarakan pameran penerbangan yang pertama di Yogyakarta sekaligus memperingati ulang tahun Republik Indonesia pada pertengahan tahun 1948. Belanda yang memang masih ingin menguasai Indonesia tiada henti-hentinya mencari celah. Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1946 dilanggar dengan agresi militer I yang dimulai Minggu tanggal 21 Juli 1947, yang mereka sebut aksi polisionel. Hampir semua pangkalan udara di Jawa dari Gorda (Banten) sampai Pandanwangi (Lumajang) diserang. Hanya Maguwo yang terhindar dari serangan karena kabut tebal. Serangan ini menimbulkan kerusakan hebat dan sejumlah pesawat terbang hancur. Menghadapi hal itu AURI tidak segera membalas, karena menyadari kemampuan yang dimiliki tidak sebanding baik peralatan maupun personilnya. Yang bisa dilakukan hanyalah berusaha mempertahankan semaksimal mungkin.Untuk mengurangi kerugian pesawat yang sudah rusak sengaja dijadikan umpan. Tetapi beberapa pangkalan terpaksa dilepaskan seperti Bugis. Sejak tanggal 21 Juli 1947, semua penerbang termasuk yang kemudian datang dari pangkalan lain (karena diduduki Belanda), dilarang keluar dari Maguwo. Kalau siang siap siaga, sedang malamnya beristirahat di kompleks perkantoran Wonocatur. Selama itu mereka dapat menyaksikan dari dekat dahsyatnya serangan yang dilakukan oleh pesawat Kitty Hawk. Menjelang akhir Juli 1947 beberapa kadet berkumpul untuk membicarakan aksi balas dendam. KSAU Suryadarma pada mulanya melarang, tetapi melihat semangat juang para kadet yang tinggi akhirnya Suryadarma menyerah dengan ucapan “Saya tidak memerintahkan, tetapi juga tidak melarang”. Persiapan untuk misi ini pun segera dilaksanakan dengan penuh rahasia. Suryadi Suryadarma dan Halim Perdanakusuma mengadakan beberapa kali pertemuan tertutup. Minggu 28 Juli 1947 seorang kurir datang ke asrama Wonocatur. Ia membawa perintah KSAU agar empat orang kadet penerbang yaitu Mulyono, Sutarjo Sigit, Suharnoko Harbani dan Bambang Saptoaji menghadap. Halim menegaskan bahwa tugas ini bersifat sukarela, bukan perintah atasan. Inti serangan adalah kedudukan musuh di Semarang dan Salatiga. Empat pesawat terbang yamg masih selamat, yaitu pembom-tukik (dive-bomber) Guntai, fight-trainer Hayabusha, dan dua buah pesawat latih dasar (basic trainer) Cureng yang akan dipakai. Mulyono ditugaskan menyerang Semarang disertai penembak udara Dulrachman, dikawal Bambang Saptoaji dengan pesawat Hayabusha. Sutarjo Sigit bertugas menyerang Salatiga dan bertindak sebagai flight leader didampingi penembak udara yang juga bernama Sutarjo. Suharnoko Harbani sebagai wingman, beserta penembak udara Kaput. Untuk membela diri pesawat Guntai dan Cureng berkokpit terbuka ini dilengkapi senapan mesin dan penembak udara yang sekaligus merangkap sebagai pembom yang akan melemparkan bom bakar (incendiaries). Apabila serangan selesai diinstruksikan segera langsung kembali ke Maguwo. Dengan terbang serendah mungkin (tree top level) dan hedge –hopping untuk mengurangi ruang gerak pesawat musuh yang jauh lebih tinggi kecepatannya, apabila mereka mengejar dan menyerang. Karena pesawat Hayabusha tidak dapat diselesaikan perbaikan dan modifikasinya, Bambang Saptoaji gagal mengikuti misi ini. Tepat pukul 05.00, tanggal 28 Juli 1947 misi pembalasan dilakukan dan pesawat mulai mengudara. Ternyata Belanda tidak mengetahui kedatangan pesawat AURI. Serangan atas kota Ambarawa, Salatiga dan Semarang ini tentu saja membuat Belanda terkejut dan panik. Dengan tergesa-gesa dari pangkalan udara Kalibanteng (Semarang) mereka memaksa menerbangkan pesawat yang mesinnya belum dipanaskan sehingga tersungkur di ujung landasan. Segera setelah misinya selesai mereka kembali. Ketiga pesawat itu kemudian disembunyikan di desa-desa sekitar untuk menghindari serangan balasan Belanda. Serangan ini memang secara materi “tidak menimbulkan kerugian yang berarti” bagi Belanda. Namun dampak politis dan psikologis bagi kedua pihak sangat berarti. Ternyata kadet penerbang Indonesia yang hanya memperoleh penggemblengan darurat secara kilat berhasil melancarkan serangan udara dan mempermalukan pihak Belanda. Perintisan menembus blokade Belanda yang bersifat monumental salah satunya adalah dalam peristiwa VT-CLA. Pesawat Dakota ini berasal dari maskapai penerbangan Kalinga Airlines, India, yang disewa pemerintah Indonesia untuk mengantar kembali Komodor Muda Udara Adisucipto dan Komodor Muda Udara dr. Abdurachman Saleh. Keduanya dari tugas kemanusiaan, mengangkut obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia. Selain itu terdapat juga Opsir Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo yang bertugas sebagai RTU dan Ny. Constantin. Pilotnya Alexander Noel Constantin, mantan Wing Commander berkebangsaan Australia dengan copilot Roy Lance Hazelhurst, mantan Squdron Leader dari Inggris. Penerbangan non militer ini sudah mendapat persetujuan Pemerintah Inggris dan NICA di Jakarta sehari sebelumnya. Selain siaran radio juga dimuat dalam surat kabar The Malayan Times. Untuk keselamatan penerbangan, KSAU Suryadarma menginstruksikan agar pesawat diterbangkan pagi sekali atau sore menjelang senja. Pesawat bertolak dari Singapura pukul 13.00 dengan tujuan Yogyakarta. Ternyata memasuki wilayah Indonesia di atas Bangka-Biliton, muncul dua pesawat pemburu Kitty Hawk yang kemudian menghilang, tetapi muncul lagi dan terus membuntuti. Kurang lebih pukul 16.00 pesawat mendekati lapangan Maguwo. Ketika siap mendarat muncul P-40 Kitty Hawk yang dipiloti Letnan Satu B.J. Ruesink bersama Sersan Mayor W.E. Erkelens. Rupa-rupanya serangan di Ambarawa, Salatiga dan Semarang membuat Belanda kalap, apalagi ketika melakukan pengintaian di Maguwo pesawat yang dicari tidak ditemukan. Dakota VT-CLA tersebut menjadi sasaran balas dendam dan ditembak. Usaha pilot untuk mengarahkan ke landasan Maguwo gagal dan pesawat jatuh pada perbatasan antara desa Wojo dan Ngoto kurang lebih 3 km dari Yogyakarta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 29 Juli 1947. Pesawat terbakar dan nyaris patah menjadi dua. Dari sembilan penumpang termasuk awak pesawat hanya A. Gani Handoko Cokro dari GKBI Comal, Tegal yang selamat. Perlawanan dari angkatan udara juga dilakukan di daerah-daerah luar Jawa, dengan cara mengirim pejuang yang telah dididik ke sana. Sebagai contoh Kalimantan Selatan.Setelah Belanda memblokade lautan, satu-satunya jalan untuk menembus blokade tersebut adalah lewat udara. Melalui latihan yang singkat terpilih 12 orang yang paham bahasa Dayak Kahayan, ditambah dua orang PHB AURI, yaitu Opsir Udara Muda I Hari Hadisumantri dan Sersan Udara F.M. Suyoto. Tujuan dan tugas operasi penerjunan yang bersifat rahasia ini adalah untuk membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku Dayak, Sepanhiba, membantu perjuangan rakyat setempat, membuka stasiun pemancar induk, serta menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi selanjutnya. Sayang Albert Rosing, seorang Lurah Kampung Mayang berkhianat sehingga beberapa orang gugur dan yang lain tertangkap. Pengkhianatan juga datang dari PKI Muso yang beroperasi di daerah Madiun, bahkan sempat “menguasai” pangkalan udara Maospati. Tetapi gerakan ini dalam waktu sigkat berhasil ditumpas, dan di dalam tubuh AURI sendiri segera diadakan pembersihan. Mempertahankan kemerdekaan tidak hanya dilakukan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Baik untuk menunjukkan usaha perjuangan maupun mencari bantuan dan dukungan. Jalur penerbangan adalah salah satu jalur pokok yang dipakai. Namun kondisi Indonesia waktu itu tidak memungkinkan untuk pengadaan pesawat . Usaha yang dapat dilakukan adalah menjalin hubungan dengan perusahaan penerbangan sipil maupun perorangan dari luar negeri untuk mengadakan penerbangan ke wilayah RI dengan pangkalan induk Maguwo. Usaha ini tidak sia-sia, beberapa penerbangan sipil mulai berdatangan dan menerobos blokade Belanda, seperti Orient Airlines, South Eastern Airways Corporation, Kalinga Airlines, Cathay Pasific Airways, Pasific of Overseas Airlines of Siam. Jalur penerbangan luar negeri ini kemudian digunakan uuntuk kepentingan diplomasi, termasuk kunjungan beberapa perwakilan asing. Selain Pangkalan Udara Maguwo, untuk jenis pesawat hydro digunakan Pelabuhan Laut (Sea Base) di Campurdarat (Tulungagung) dan Pacitan. Sebelum memiliki pesawat angkut sendiri (yang memadai) untuk perhubungan antar daerah dan menembus blokade Belanda, tahun 1947, AURI menyewa pesawat milik perorangan. Misal, pesawat Dakota versi militer, Duglas C-47 milik Robert Earl Freeberg (veteran angkatan laut AS), disewa dan diberi registrasi RI-002. Selain beberapa kali berhasil menerobos blockade Belanda untuk pergi pulang Manila dan Singapura, pernah pula mengangkut rombongan Presiden Sukarno ke Sumatera. Dua pesawat hydro PBY Catalina milik R.R. Cobley warga Inggris diberi registrasi RI-005. Tugas utamanya adalah menerobos blokade Belanda, melayani jalur penerbangan dari sea base Campurdarat Tulungagung ke Jambi-Singapura-Penang membawa obat-obatan. Pesawat amphibi milik James Flemming yang beregistrasi RI-006 sering digunakan untuk mengangkut senjata dan mesiu dari Pilipina dan Siam. Pesawat angkut DC-3 yang seratus persen menjadi milik Indonesia pertama kali adalah pesawat Dakota RI-001 Seulawah. Pesawat ini direncanakan khusus untuk Presiden dan pejabat penting lainnya. Namun bersama awak pesawatnya, Wiweko Supono dua kali berhasil menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi dan obat-obatan dari Burma ke pangkalan udara Blangbintang dan Loknga, Aceh. Agresi Militer Belanda II membuat sebagian besar pesawat terbang milik AURI hancur. Satu-satunya pesawat angkut yang masih utuh adalah Dakota RI-001 Seulawah yang sedang mengalami perbaikan di India. Masalah muncul, tidak mungkin membawa pesawat tersebut kembali ke Indonesia, sementara biaya hidup yang ada tinggal 2-3 minggu. Akhirnya diputuskan untuk menyewakan RI-001 Seulawah sebagai modal usaha untuk membuka penerbangan sipil di luar negeri. Dan yang bersedia menyewa adalah pemerintah Burma. Setiba di Rangoon Burma dari India, Wiweko Supono dibantu Maryunani (kepala perwakilan RI di Burma) segera mendirikan perusahaan penerbangan yang diberi nama Indonesian Airways. Dengan usaha penerbangan yang memberi hasil cukup lumayan ini, RI -001 Seulawah selain dapat membiayai sendiri, juga menyediakan dana untuk keperluan lain. Ketika RI mengalami krisis, keuntungannya antara lain digunakan sebagai pendukung biaya perwakilan di luar negeri, membiayai kadet-kadet yang sedang belajar di Pilipina dan India, membeli persenjataan dan dua pesawat Dakota, bahkan bisa disisihkan US 15.000 dollar per bulan. Dengan berakhirnya perang kemerdekaan, disusul berdirinya Republik Indonesia Serikat, tugas Indonesia Airways tersebut selesai. Secara berangsur-ansur personalianya pulang. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah kembali dan tiba di pangkalan udara Andir (Bandung) tanggal 3 Agustus 1950. Dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan, perhubungan radio, merupakan salah satu urat nadi yang juga sangat penting. Pada tanggal 17 Desember 1945 Panglima Divisi IX Yogyakarta, Jenderal Mayor Sudarsono, secara resmi menyerahkan Pangkalan Udara Maguwo kepada TKR-Jawatan Penerangan. Berkaitan dengan itu, maka kegiatan yang ada di bidang perhubungan di Maguwo yang dipimpin Sersan Mayor Udara Sabar Wiyonomukti mulai mengadakan pencarian dan pengembangannya. Pertama-tama yang dilakukan adalah mencari alat-alat perhubungan/radio yang ditinggalkan Jepang. Dalam bidang ini Abdulrachman Saleh sangat berperan. Kemudian berhasil ditemukan pesawat pemancar berkekuatan 1,5 kilowatt dari sebuah instalasi di bawah tanah. Opsir Udara III Budiarjo dan Ajudan Udara Arsiono kemudian ikut bergabung. Bersama dengan Sabar Wiyonomukti, Budiarjo merintis PHB. Berkat kerja sama yang baik antara Budiarjo dan Opsir Udara I Adisumarmo berdirilah Sekolah Radio Telegrafis. Di Pangkalan Udara Bugis Malang juga didirikan Sekolah Radio Telegrafis Udara di bawah pimpinan Opsir Muda Udara I Mohamad Tohir Harapan. Praktek dilaksanakan dengan menggunakan peralatan perhubungan peninggalan Jepang yang sudah diperbaiki Selain praktek di pangkalan udara Bugis dan Pandanwangi, juga di sekitar garis depan pertempuran Sidoarjo. Sekolah Radio Telegrafis Udara ini merupakan pelopor Balai Pendidikan Perhubungan AURI yang pertama. Sekolah ini terpaksa ditutup resmi pada bulan September 1946 dengan menghasilkan 16 lulusan. Mereka merupakan tenaga inti PHB AURI, yang kemudian disebar ke seluruh pangkalan udara di Jawa dan Sumatra. Tugasnya adalah bekerja sama dengan anggota AURI setempat untuk menyempurnakan dan mendirikan Stasiun Radio PHB AURI, mempelopori berdirinya Stasiun Radio PHB AURI, serta mendidik anggota baru. Pada bulan Oktober 1947 dibuka stasiun-stasiun radio. Markas AURI menjadi pusatnya. Operasinya secara sederhana adalah untuk tetap memelihara hubungan radio di manapun, kapanpun dalam keadaan bagaimanapun, apabila harus berpindah-pindah lokasi untuk menghindari serangan musuh. Jaringan radio AURI berporoskan Aceh-Yogya, meliputi stasiun radio dalam pengungsian Kotaraja, Tarutung, Bangkinang, Pasir Pangreyen, Kotatinggi. Stasiun mobil mengikuti PDRI di daerah Kerinci, Lubuk Lingau, Wonosari dan Jamus (sekitar Gunung Lawu). Ada juga hubungan radio ke luar negeri dengan satuan AURI/Indonesian Airways yang berpangkalan di Burma lewat Aceh. PHB AURI juga dapat menemukan hubungan dengan sebuah stasiun radio yang secara sembunyi-sembunyi beroperasi di daerah Kwitang, Jakarta, oleh Gan Khoey Hay, anggota PTI pro Republik. Dengan melalui sarana telekomunukasi AURI, maka semua berita penting seperti intruksi perang dan lain-lain dapat segera disebarluaskan ke daerah Republik sehingga blokade lawan dapat diterobos. Demikian pula hubungan dengan perwakilan-perwakilan RI di luar negeri dapat diselenggarakan dengan baik sehingga dapat menarik simpati. Misal peristiwa Agresi Militer Belanda II, kemudian Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Juga dengan pemancar radio PHB AURI tersebut, dapat diselenggarakan hubungan langsung antara pimpinan PDRI dengan menteri luar negeri Mr. Maramis, yang berkedudukan di New Delhi, India. Dengan demikian langkah perjuangan PDRI menjadi terkenal di mata dunia, sehingga secara langsung memperkuat tuntutan luar negeri. Berkat jaringan PHB AURI di wilayah Sumatra, khususnya Aceh yang dipimpin Opsir Udara I Suyoso Karsono, dengan melalui siaran radio The Voice of Free Indonesia, semua berita perjuangan, pengumuman dan instruksi dari Pimpinan Angkatan Perang RI di Yogyakarta, dapat disebarluaskan ke seluruh daerah gerilya. Beberapa pemancar yang lain kemudian dikenal sebagai Radio Perjuangan Republik Indonesia (RPRI), bahkan ada yang merangkap menjadi kantor berita mini yang mengumpulkan berita-berita dari luar negeri, kemudian disebarluaskan ke seluruh PHB. Setelah bangsa Indonesia berjuang tanpa kenal lelah, barulah pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, melalui KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan, dilakukan penyerahan wewenang baik sipil mau pun militer. Dengan demikian rakyat Indonesia memiliki tahap konsolidasi dan pembinaan. TNI Angkatan Udara pun mulai menyusun kekuatan, mempercepat proses konsolidasi dan pembinaan. Hal tersebut dibuktikan dengan kemampuannya melikuidasi Militaire Luchtvaart dalam waktu enam bulan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Pada tanggal 27 Juni 1950, Marsekal (Komodor Udara) Suryadi Suryadarma secara resmi menerima penyerahan Markas Besar Koninklijke Militaire Luchtvaart (Angkatan Udara Belanda) kepada Angkatan Udara Republik Indonesia. Upacara ini mengakhiri serangkaian upacara penyerahan pesawat udara militer dan Pangkalan Angkatan Udara di beberapa tempat di Indonesia kepada AURI. Tahun itu juga, Suryadarma menyelenggarakan program pendidikan kadet, antara lain mengirim calon penerbang ke luar negeri.